Kamis, 06 Juni 2013

MANUSIA DAN KEADILAN


Manusia dan Keadilan
Pemgertian dan Makna
Setiap kehidupan manusia dalam melakukan aktivitas nya pasti pernah mengalami perlakuan yang tidak adil. Jarang sekali kita mengalami perlakuan yg adil dari setiap aktivitas yang kita lakukan. Dimana setiap diri manusia pasti terdapat suatu dorongan atau keinginan untuk berbuat jujur namun terkadang untuk melakukan kejujuran itu sangatlah sulit dan banyak kendala nya yang harus di hadapi, seperti keadaan atau situasi, permasalahan teknis hingga bahkan sikap moral.
Dampak positif dari keadilan itu sendiri dapat menghasilkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi, karena ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak adil maka orang tersebut akan mencoba untuk bertanya atau melalukan perlawanan “protes” dengan caranya sendiri. Dan dengan cara itulah yang dapat menghasilkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi seperti demonstrasi, melukis, menulis dalam bentuk apapun hingga bahkan membalasnya dengan berdusta dan melakukan kecurangan.
Arti dari keadilan itu sendiri adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori nya, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang sangat besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”. Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai. “Kita tidak hidup di dunia yang adil”. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.
Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan pelakuan yang seimbang antara hak-hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan kewajibannya. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.
Contoh keadilan
Imam al-Ghazali menulis kisah inspiratif di kitab Nashihatul Muluk (Nasehat untuk Para Pengusa) :
“Dikisahkan di masa Raja Anusyarwan, ada dua orang bersepakat bertransaksi jual beli atas sebidang tanah. Si A yang membeli tanah tersebut dari Si B menemukan di bawah tanah yang dibelinya sebuah harta karun. Si A tidak berkenan memiliki harta karun tersebut karena ia hanya membeli tanah. Lalu ia menyampaikan kepada si B. Si B juga tidak ingin memiliki harta karun itu, karena ia marasa ia sudah menjual tanah itu kepada si A beserta apa yang dikandung tanah tersebut. Mereka kemudian sepakat mengadukan masalah tersebut kepada sang raja. Diliputi perasaan gembira sang raja kemudian memanggil mereka :
“Apakah kalian punya anak?” tanya sang raja.
Si A menjawab : “Saya piunya anak laki-laki”; si B: “ saya punya anak perempuan”.
“Saya senang,” kata sang raja, “kalau seandainya di antara kalian berdua ada ikatan kekerabatan dan tali siltaturrahim. Coba kalian nikahkan masing-masing putra dan putri kalian itu, dan dananya dari harta karun itu. Kalau masih ada sisa, sisihkan pula harta karun itu sebagai bekal bagi kedua mempelai dalam menempuh kehidupan perkawinan yang lebih direstui oleh kalian berdua.”
Mereka kemudian sepakat atas apa yang dinasehatkan oleh sang raja itu. (cerita diambil lengkap dari buku Ahmad Baso, Pesantren Studies: Khittah Republik Kaum Santri dan Masa Depan Ilmu Politik Nusantara, hal. 353-354)
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah inspiratif di atas?
Pertama, orang yang berperkara ke pengadilan bukan sekedar menuntut hak. Bukan sekedar saling klaim kebenaran, sesuai nafsu dan egonya masing-masing. Tetapi berperkara juga perlu dihiasi kejujuran dan keadilan.
Kedua, kejujuran dua orang yang berperkara di atas bukan bersifat personal, karena “kebetulan” mereka jujur, misalnya. Saya pikir bukan begitu. Tapi kejujuran mereka hasil dari pelembagaan kejujuran yang diinstitusionalisasikan oleh penguasa ke dalam Negara (dalam hal ini raja), sehingga juga memberi pengaruh besar bagi kejujuran rakyatnya. Jika kekuasaan dan penguasanya jujur,rakyatnya akan jujur. Demikian sebaliknya. Jadi kejujuran dua orang itu sistemik, bukan sekedar personal.
Ketiga, kejujuran dalam menjalankan kekuasaan beriringan dengan keadilan kekuasaan. Penguasa (dalam konteks Negara modern, lembaga hukum) yang adil akan menjadi tumpuan rakyatnya menyelesaikan masalah-masalahnya. Karena rakyat mempercayainya. Dua orang itu menghadap raja karena mereka yakin raja akan menyelesaikan masalah mereka secara adil.
Kepercayaan (trust) itu tidak hadir tiba-tiba. Kepercayaan bukan sekedar diumbar oleh seringai bibir, omongan berbusa, dan retorika indah sekalipun. Kepercayaan akan tumbuh jika antara laku dan kata seusai. Antara ucapan dan tindakan selaras. Jika hanya pandai berlilat lidah? Kepercayaan itu akan menguap.
Kisah langka di atas menjadi relevan ketika dihubungkan dengan bejibun masalah hukum di negeri kita. Penegak hukum memble, orang yang berperkara saling mengabisi, antar-pengacara saling kutip teks-teks harfiah pasal-pasal dalam UU yang sudah dikuliti substansi keadilannya, dan pengadilan seperti sulap. Semua merasa benar atas nama hukum. Karena yang kita cari sekarang hanya MENANG, bukan KEJUJURAN dan KEADILAN. Dua nilai yang terkahir sudah beku, dipetieskan di bawah meja kekuasaan.
Ya, hukum hanya menjadi milik orang yang berkuasa
Keadilan Sosial di Indonesia
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmiTtFoINa039P2ZwH9Z0X5aYJrSM4Stc4YfBKBHTHIo828wBjuqpXlimbuL9zB5JGCE1Y43pBoWp2rlNsqgf5xgQnq3j-GMSzfGAgF318kcm270u_aEMRWZZG_PKwhSLkvkIgzWFH-pM4/s320/Plato+Aristoteles+Socrates.png
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Aristoteles telah menulis secara luas tentang keadilan. Ia menyatakan bahwa keadilan adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Lebih lanjut, Aristoteles dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua macam yaitu keadilan distributif (justitia distributiva) sebagai keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing, serta keadilan komulatif (justitia cummulativa) sebagai keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing. Keadilan komulatif ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau pun tidak.
Selain Aristoteles, Thomas Aquinas juga telah menjabarkan keadilan dengan membedakannya dalam dua kelompok yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus (justitia specialis). Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum, sedangkan keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsional. Keadilan khusus kemudian dijabarkan dalam tiga bentuk, yaitu:
  1. Keadilan distributif (justitia distributiva) adalah keadilan yang secara proporsional yang diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum;
  2. Keadilan komutatif (justitia commutativa) adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dengan kontraprestasi.
  3. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa) adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang akan dianggap adil apabila dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
Ibnu Taymiyyah juga memberikan pandangan tentang keadilan, bahwa keadilan adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta, tidak berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak, mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, maupun masyarakat. Keadilan ini tidak hanya menjadi harapan setiap insan/manusia, akan tetapi kitab suci umat Islam (Al Quran) menjadikan keadilan sebagai tujuan risalah samawi.

Keadilan merupakan masalah penting dan mendesak untuk dipahami dalam kehidupan manusia, baik dalam lingkup bermasyarakat, bernegara, maupun hubungan internasional. Ungkapan ini telah lama disuarakan oleh John Rawls yang dipandang sebagai teori keadilan paling komprehensif hingga kini. Teori Rawls sendiri berangkat dari pemahaman/pemikiran utilitarianisme, sehingga banyak mempengaruhi pemikiran Jeremy Bentham, J.S. Mill, dan Hume yang dikenal sebagai tokoh-tokoh utilitarinisme. Sekalipun, John Rawls sendiri lebih sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum.

Begitu pentingnya nilai keadilan dalam masyarakat menuntut agar nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan serta hidup terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam ukuran negara. masing-masing memiliki teori keadilannya sendiri yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lainnya, dan tidak terkecuali Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basic of goverment) dan kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

Pancasila merupakan dasar negara dan landasan ideologi Indonesia. Dalam penerapan keadilan di Indonesia, Pancasila sangat berperan penting sebagai dasar keadilan sebagaimana disebutkan pada sila ke-2 dan sila ke-5. Sila ke-2 yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung delapan makna, yaitu:
  1. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
  2. Saling mencintai sesama manusia.
  3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
  4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
  5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
  6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung sebelas makna, yaitu:
  1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
  2. Bersikap adil.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak-hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
  6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak bergaya hidup mewah.
  8. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
  9. Suka bekerja keras.
  10. Menghargai hasil karya orang lain.
  11. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila yang kemudian dicabut dengan Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 butir-butir dari prinsip keadilan juga telah diungkapkan secara jelas, termasuk yang dikemukakan oleh John Rawls. Selanjutnya, pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara tegas juga disebutkan komitmen bangsa Indonesia tehadao keadilan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan keadilan menurut bangsa Indonesia adalah “Keadilan Sosial”.

Menurut Notohamidjojo, keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat. Masing-masing harus diberi kesempatan menurut menselijke waardigheid (kepatutan kemanusiaan). Pembangunan dan pelaksanaan pembangunan tidak hanya perlu mengandalkan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga kepatutan. Istilah kepatutan kemanusiaan dapat pula disebut dengan kepatutan yang wajar atau proporsional.

Keadilan sangat berkaitan erat dengan hak. Hanya saja dalam teorisi keadilan bangsa Indonesia, hak tidak dapat dipisahkan dengan pasangan anatominya yaitu kewajiban. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup bermasyarakat. Keadilan hanya akan tegak dalam masyarakat yang beradab atau sebaliknya dan hanya masyarakat beradab yang dapat menghargai keadilan.

Keserasian hak dan kewajiban menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk berdimensi monodualistis yaitu sebagai makhluk individual dan makhluk sosial (kolektif). Pengertian adil bagi bangsa Indonesia pun tidak serta merta mengarah kepada suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utility, dihitung per kapita) menurut utilitarianisme atau ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang menurut teori keadilan dari John Rawls. Sesuai dengan keseimbangan hak dan kewajiban, maka keadilan dengan demikian menuntut keserasian antara nilai spiritualisme dan materialisme, individualisme dan kolektivisme, pragmatisme dan voluntarisme, acsetisisme dan hedonisme, empirisme dan intuisionisme, rasionalisme dan romantisme.

Pengertian keadilan sosial jauh lebih luas dibandingkan keadilan hukum. Keadilan sosial bukan sekadar berbicara tentang keadilan dalam arti tegaknya peraturan perundang-undangan atau hukum, namun berbicara lebih luas tentang hak warga negara dalam sebuah negara. Keadilan sosial adalah keadaan dalam mana kekayaan dan sumberdaya suatu negara didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam teori ini, terkandung makna bahwa pemerintah dibentuk oleh rakyat untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat dan pemerintah yang tidak memenuhi kesejahteraan warga negaranya adalah pemerintah yang tidak berlaku adil.

Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materil maupun spiritual. Hal ini berarti keadilan itu tidak hanya berlaku bagi orang kaya saja, tetapi berlaku pula bagi orang miskin, bukan hanya untuk para pejabat, tetapi untuk rakyat biasa pula, dengan kata lain seluruh rakyat Indonesia baik yang berada di wilayah kekuasaan Republik Indonesia maupun bagi Warga Negara Indonesia yang berada di negara lain.

Dalam konteks pembangunan Indonesia, keadilan inipun tidak bersifat sektoral, tetapi meliputi semua lapangan, baik dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.


5 wujud keadilan sosial yang diperinci dalam perbuatan dan sikap
1.    Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial tersebut, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yaitu : Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2.    Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
3.    Sikap suka memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukan.
4.    Sikap suka bekerja keras.
5.    Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.

8 Jalur Pemerataan yang Merupakan Asas Keadilan Sosial
Dalam keadilan juga terdapat 8 jalur pemerataan yang merupakan asas keadilan sosial :
  1. Pemerataan kebutuhan pokok baik sandang, pangan dan papan.
  2. Pemerataan pembagian pendapatan.
  3. Pemerataan kesempatan kerja.
  4. Pemerataan kesempatan berpendapat.
  5. Pemerataan berpartisipasi dalam suatu pembangunan.
  6. Pemerataan kesempatan berusaha.
  7. Pemerataan memperoleh pendidikan.
  8. Pemerataan memperoleh kesehatan.
Macam – macam keadilan
Adapun macam-macam keadilan sebagai berikut :
1.  Keadilan Legal atau Keadilan Moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya.Dalam masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (the man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan oleh yang lainnya disebut keadilan legal.
Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat.
Dan Ketidakadilan terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan ketidak keserasian.
2. Keadilan Distributif
Aristotele berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan tidak sama (justice is done when equels are treated equally).
3. Kadilan Komutatif
Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum.Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrem menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
4. Kejujuran
Kejujuran atau jujur artinya apa-apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam hati nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.
Sikap jujur itu perlu di pelajari oleh setiap orang, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan menuntut kemuliaan abadi, jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati, serta menyucikan lagi pula membuat luhurnya budi pekerti.
Pada hakekatnya jujur atau kejujuran di landasi oleh kesadaran moral yang tinggi kesadaran pengakuan akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap kesalahan atau dosa.
Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri karena kita melihat diri kita sendiri berhadapan dengan hal yang baik dan buruk.
Kejujuran besangkut erat dengan masalah hati nurani. Menurut M.Alamsyah dalam bukunya budi nurani dan filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada dalam perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan dalam meneropong kebenaran local maupan kebenaran illahi (M.Alamsyah,1986 :83). Nurani yang di perkembangkan dapat jadi budi nurani yang merupakan wadah yang menyimpan keyakinan. Kejujuran ataupun ketulusan dapat di tingkatkan menjadi sebuah keyakinan atas diri keyakinannya maka seseorang di ketahui kepribadianya.
Dan hati nurani bertindak sesuai dengan norma-norma kebenaran akan menjadikan manusianya memiliki kejujuran, ia akan menjadi manusia jujur. Sebaliknya orang yang secara terus-menerus berfikir atau bertindak bertentangan dengan hati nuraninya akan selalu mengalami konfik batin, ia akan selalu mengalami ketegangan, dan sifatnya kepribadiannya yang semestinya tunggal menjadi pecah. Untuk mempertahankan kejujuran, berbagai cara dan sikap yang perlu di pupuk. Namun demi sopan santun dan pendidikan, orang di perbolehkan berkata tidak jujur apabila sampai batas-batas yang di tentukan.
Kecurangan identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik meskipuntidak serupa benar. Kecurangan adalah apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nurani nya atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan tanpa adanya usaha. Yang dimaksud dengan keuntungan adalah keuntungan yang berupa materi. Mereka yang berbuat curang menganggap akan mendatangkan kesenangan atau kenikmatan, meskipun orang lain menderita karena nya. Kecurangan juga menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita. Orang seperti itu biasa nya tidak senang bila ada orang yang melebihi kekayaannya, padahal agama apapun tidak membenarkan orang yang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan orang lain dan lebih lagi mengumpulkan harta dengan jalan yang curang. Hal semacam itu dalam istilah agama tidak akan di ridhoi oleh allah dan akan mendapatkan dosa yang setimpal.
Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi orang atau tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai harganya.
Ada peribahasa yang berbunyi “daripada berputih mata lebih baik berputih tulang” artinya orang lebih baik mati dari pada malu. Betapa besar nilai nama baik itu sehingga nyawa menjadi taruhannya. Setiap orang tua selalu berpesan kepada anak-anaknya “jagalah nama keluargamu!” Dengan menyebut “nama” berarti sudah mengandung arti “nama baik”. Ada pula pesan orang tua “jangan membuat malu” pesan itu juga berarti menjaga nama baik. Orang tua yang menghadapi anaknya yang sudah dewasa sering kali berpesan “laksanakan apa yang kamu anggap baik, dan jangan kamu laksanakan apa yang kamu anggap tidak baik!”. Dengan melaksanakan apa yang dianggap baik berarti pula menjaga nama baik dirinya sendiri, yang berarti menjaga nama baik keluarga juga.
Penjagaan nama baik sangat erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah dari tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan lain sebagainya.
OPINI : Setiap manusia harus adil satu dengan yang lainnya jangan hanya memikirkan egoisnya sendiri. kita diwajibkan untuk saling membantu dan adil. Keadilan sangat di perlukan dan dibutuhkan namun keadilan sekarang tidak berlaku lagi karena siapa yang kuat itu yang menang. Keadilan cuma hanya formalitas yang ada di negara kita buktinya keadilan itu sendiri bisa di beli, rakyat yang kecil selalu di tindas dengan rasa tidak keadilan. Dimana letak dari keadilan itu kalau pemerintah sendiri tidak pernah adil. Seharusnya mereka yang jadi pemimpin bangsa harus adil jangan hanya pandang bulu. Rakyat kecil mengharapkan sebuah keadilan dari negara. Siapa yang salah harus dihukum dan yang benar harus dibebaskan. Keadilan juga harus lebih di tegakkan jangan cuma karena di beri duit jadi keadilan yang sesungguhnya tidak seperti kenyataannya. Keadilan sangat diharapkan dan perlu penegasan dalam melakukannya.
KEJUJURAN
Pengertian Kejujuran
Kejujuran atau jujur artinya apa-apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam hati nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.
Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran". Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.

Hakikat Kejujuran
Hakikat  kejujuran itu sendiri yaitu dilakukannya dari hati nuraninya bahwa pentingnya suatu kejujuran untuk hidup karena jika tidak jujur merasa dirinya akan melakukan suatu kesalahan yang membuat dirinya tidak nyaman  dan kejujuran terdapat pada setiap diri manusia dan hanya orang tersebut dan Tuhan yang tahu akan perbuatan seseorang dapat dikatakan jujur atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar